Wednesday, October 20, 2004

Sepenggal Kisah Yang Terlunta

Catatan Kecil
Angin berarak-arak meniupkan sangkakala kebahagiaan menyambut kelahiran putra mahkota kerajaan dunia.
Nyala api lilin berdiri di tengah-tengah kue tar, dihiasi angka-angka keberuntungan. Kemudian nyanyian-nyanyian merdu terdengar mengisi ruangan penuh warna.
"Happy birthday to you", berulangkali di tembangkan sambil tepuk tangan mengiringinya.
Senyuman kebahagiaan tersirat di wajah-wajah mereka.
Pesta pun terlihat meriah dipadu ramuan-ramuan kemewahaan memperingati hari sakral seorang insani. Begitu istimewanya hari itu sehingga selalu dirayakan setiap tahunnya.
Genderang kegembiraan mulai di tabuh sampai terdengar ke seluruh pelosok alam. Semua bersorak sorai. Jabatan tangan mengucapkan selamat kerap menggenggam.
Hanya luapan-luapan kesenangan berpagut, untuk hari ini saja, esok atau untuk selamanya.
Ada makna di balik hari ulang tahun yang kita rayakan, sebuah renungan bahwa hari ulang tahun ini adalah titik awal untuk memasuki dunia baru, sebuah kedewasaan dan kemandirian.
Sebagai batu pijakan untuk terus memperbaiki diri agar hari esok lebih baik dan cahaya kemenangan kita peroleh.
Sebuah renungan pula bahwa dengan bertambahnya usia secara matematis adalah berkurangnya usia untuk mengenyam kehidupan di alam dunia.
Alangkah sedihnya jika kita kaji secara mendalam, ternyata ulang tahun adalah hari dimana kesempatan-kesempatan kita untuk terus hidup di bumi dan menikmati keindahanya semakin sedikit.
Akhirnya, penulis hanya bisa mengucapkan "Selamat Ulang Tahun" untuk sahabatku tercinta.
Semoga kesuksesan hidup akan diraihnya - sebuah kedamaian.
Semoga suguhan tulisan ini menjadikan sebuah kado spesial di hari ulang tahunmu dan dapat menggali makna yang tersirat di dalamnya.
Sebuah introspeksi untuk mengisi buku raport dunia ke arah yang lebih baik, untuk hari esok dan seterusnya.
Sebait kalimat akhir: "hidup adalah sebuah perjalanan di tengah lautan, dimana kita berada di atas sampannya. Kita dan perahu kita akan selamat dari goncangan ombak atau hempasan badai manakala kita mampu mengendalikannya untuk menggapai sebuah daratan di ujung sana yang tertata suatu kerajaan megah".
Tentunya jalan untuk menuju kerajaan itu terjal dan berliku, maka perjuangan pun tak pelak lagi.
Apakah kita akan sampai di daratan bertabur permata atau kita akan tenggelam di dasar samudra, lalu dimakan oleh ikan-ikan hiu kelaparan?.
Sebuah renungan !

Jakarta, Hari Jum’at
19 Maret 2004,
Sahabatmu,
NANA TARYANA


Ulang Tahun Sahabatku

Hari ini adalah hari ulang tahun sahabatku, wahai dunia. Katakan pada pelosok alam dengan segala kekuatanmu.
Menarilah dengan bidadari-bidadari yang kau jemput dari taman surga.
Bersenanglah dengan setengguk kenikmatan di depan matamu.
Lalu nyanyikanlah puisi-puisi cinta tentang dua sejoli yang dilanda asmara.
Rayakanlah dengan pesta-pesta yang meriah, undanglah dan manjakan orang-orang penghuni alam mayapada.
Hiasi sudut-sudut rumah, di persimpangan jalan dengan warna-warna keagungan.
Nyalakan lentera-lentera sampai kegelapan merayap.
Taburi tempat tidur mereka dengan wangi-wangi kesturi, lalu rentangkan permadani-
permadani. Hiasi baju-baju mereka dengan pakaian mewah bersulamkan sutra-sutra.
Tembangkanlah pupuh-pupuh kinanti sang pujangga diiringi gamelan-gamelan tua. Tidak perlu tujuh hari tujuh malam atau tiga hari tiga malam, cukup sehari saja.
Mampukkah wahai kekuatan-kekuatan ?
Tidak ada kesedihan, tidak ada pertikaian, tidak ada penderitaan, tidak ada sedikitpun kesengsaraan di wajah-wajah mereka. Tidak ada lagi wajah-wajah pucat karena kehausan atau tubuh-tubuh lunglai kelaparan.
Suguhi dengan kemewahan-kemewahan, sehari saja wahai kekuatan-kekuatan, hingga yang ada hanya kesenangan dan kegembiraan menyambut kelahiran sahabatku.
Bisakah engkau wahai kekuatan-kekuatan menyulap hari ini untuk sebuah kemenangan ?
Kemenangan dari kerasnya perjuangan seorang ibu di suatu dusun di kota kecil berpenduduk tiga ribu orang. Suatu kemenangan dari benih-benih yang ditanam dari rahim seorang batari, sembilan bulan lamanya.
Kemenangan ketika kedua mata sahabatku terbuka dan diiringi tangisan-tangisan kecil seorang bayi mungil yang terlahir ke dunia dengan sentuhan-sentuhan sang penyayang, belaian-belaian sang perindu kedamaian, diselingi tabuhan-tabuhan asmarandana jawa lewat bahasa kalbu seorang ibu.
Dua puluh dua tahun silam rekaman kehidupan itu selalu menari-menari di pelupuk mata sahabatku sebagai awal langkah kakinya dipijakkan di sebuah alam yang asing, alam kehidupan manusia bertahtakan lika-liku serta pusaran ombak yang siap menjegal di kelengahan.
Dan selama dua puluh dua tahun itulah sahabatku menuai kegetiran hidup dengan dawai-dawainya dan terus mencari-cari sebuah harapan disebrang lautan, diketinggian gunung, di
dasar lautan dan di ujung sebuah keinginan.
Seorang anak dibukit Sinai yang mendendangkan syair-syair dengan suaranya yang parau, di teriknya mentari yang kerap membakar setiap tubuhnya, hingga hanya balutan-balutan tulang merah terlihat.
Di kegersangan tanah yang tandus itu sang anak melahirkan metamorfosa lewat penggalan-penggalan asa, lalu membawanya ke langit ke tujuh untuk di sampaikannya kepada sang penguasa.

***

Selama dua puluh dua tahun itulah sahabatku merangkai kehidupannya dengan ukiran-ukiran permata dan menjadikannya mahkota di kerajaan batinnya. Kemudian dengan segala kemampuannya, ia toreh dunia dengan jari jemarinya walau terkadang tetesan darah mengucur.
Darah seorang pemuda yang mendambakan kehidupan sang batara di puncak kedamaian.
Puncak dimana tak seorangpun mampu menjamahnya, kecuali dengan tangan-tangan dingin.
Suatu puncak dimana syetan-syetan tak lagi bisa menyusupkan bisikan-bisikan halusnya lewat pujian-pujian sang pengagum atau lewat gemerincingnya genta di kuil tua raksaksa yang memanggil orang-orang suci di dataran rendah padang panjang.
Atau lewat suguhan-suguhan sang bidadari-bidadari dengan kemolekan tubuhnya bak biola yang siap dipetik oleh kehausan cinta sang arjuna.
Sebuah cita-cita hidup. Itulah puncak dari segalanya.
Dua puluh dua tahun usianya. Suatu bentangan waktu yang selalu setia menemani saat kepedihan melanda atau bersulang dengan kegembiraan. Sampan dikayuhnya menyusuri relung-relung tajam tak berbatas.
Sebuah kedewasaan yang harus dipetik lalu dipersuntingnya.
Sebuah kemandirian yang harus di ambil lalu di milikinya.
Selamat ulang tahun sahabatku. Reguklah kehausan itu dengan air dari mimpi-mimpimu.
Kayuhlah sampan kehidupan sampai keujung lautan, sampai pulau harapan terbentang di depan mata.
Aku dan doaku adalah sahabatmu yang selalu menanti di ujung kesuksesan.

***


Pertemuan

Di sudut sebuah Mall Metropolitan Bekasi, suatu hari di penghujung Juli 2003. Saat otot-otot menghentakkan tenaganya, mencucurkan keringat disertai bulir-bulir harap yang tersisa. Sebuah kehidupan.
Sang surya mengepakkan sayapnya, membakar setiap jengkal kulit-kulit legam tak berbalut.
Tak terkecuali, pohon-pohon tertunduk lesu, daun-daun layu, berlindung diantara ranting-ranting kering menjuntai.
Sesaat angin berhembus, menebarkan sedikit kesejukan, meski tak menghilangkan kedahagaan saat kehausan menjamah tubuh.
Duduk gontai seorang ibu tua dengan wajah pucat pasi memendam kegetiran hidup mewarnai trotoar diantara berderetnya pohon-pohon taman. Tangannya menengadah dengan baju kumal tak bermerek, mengharap belas kasihan.
Sementara itu di dalam sebuah komplek pusat keramaian wajah-wajah berlalu lalang dengan rona-rona kebahagian terpancar disela-sela bibir manisnya. Berbalut pakaian rapi, dengan aroma farfum menyelimuti tubuhnya. Pemandangan alam ini kontras di kota Metropolitan, kota tempat berjuta orang menggantungkan secercah harapan.
Seorang lelaki dengan wajah sendu duduk diteras depan mall. Sepatu olahraga coklat dan jeans biru berpadu dengan kaos berlengan panjang terpajang di badannya.
Sesekali rokok dihisapnya, mengepulkan asap, melambung tinggi seperti kabut diterpa sang kelembutan. Matanya sayu menyapu lalu lalang wajah-wajah, mencuri diantara belalaknya mata-mata. Nafasnya terangkat dalam, mengisi rongga-rongga dada yang mulai kering, menukik disertai gemerincing jiwa yang tak henti bertabuh mendendangkan sebuah syair lama.
Sang waktu berputar, menjemput detik memeluk menit, hingga detak-detaknya kian menyirna.
Namun gemuruh hati sang pemuda 24 tahunan tak lekang juga. Tangan-tangannya memilin-milin rokok, lalu dihisapnya. Entah, sudah berapa batang kelur masuk dari mulutnya?.
Tak lama raut wajahnya berbinar diselingi sedikit senyuman, menyeka keraguan yang sedari tadi bermuara di ujung penantian. Sapaan akrab terlontar, ketika tangan-tangan mulai menggenggam erat seperti kerinduan yang telah menghilang sekian lamanya. Menebarkan aroma keharuman di taman-taman hati, menyejukkan kesegaran disudut-sudut jiwa.
Aku dan engkaulah pertemuan ini telah Tuhan ciptakan dan Tuhan telah melantuntan lewat kidung-kidung waktu. Syair-syair-Nya telah memanggil kesucian hati dan menyatukannya.
Rahmat Tuhan terlimpah laksana belaian kasih seorang ibu.
Keakraban sepasang sahabat yang terpisah jarak, terpenggal masa berpadu dalam suatu kala di derunya perjuangan. Suatu untian hari yang berbuah bulan dipadu kegersangan, melanda di awal fajar dan berakhir di suatu senja tanpa sedikitpun meraih impian-sebuah penantian!
Keelokan akan ciptaan Tuhan melahirkan rasa persahabatan diantara pelukan-pelukan permusuhan, bintik-bintik penguasa keabadian, menjerat setitik noktah yang tersisa - senasib sepenanggungan !
Hari kian redup menutup siang menjemput malam. Tak terasa lembayung menyirnakan cahya surya diufuk barat. Dewi malam bertengger berpagut kabut tipis, menebarkan kemilaunya, menembus cakrawala dan membentangkan sayap- sayapnya.
Malam ini telah menjadi saksi bisu pertemuan dua sahabat yang terhalang oleh keinginan berbeda, terpisah harapan-harapan semu dan menuainya dengan tangan-tangan kekar dan menjadikannya sebuah istana di keluhuran jiwa. Sebuah impian-impian di lelapnya tidur, sebuah imajinasi di ambang kesadaran, diantara berjejalnya asa dan harapan seorang anak manusia.
Hamparan lengkingan cerita-cerita kelam bermuara dihiruk pikuknya kehidupan. Sabda-sabda alam tercucur diteriaknya halusinasi, jeritan-jeritan keinginan dan ambisi di relung kegetiran hidup. Sirna dan menyatu kembali dalam angan-angan - sebuah cita-cita hidup !
Begitupun dengan aku dan sahabatku yang menghabiskan waktu-waktu untuk bercanda, tertawa berbagi sedikit kisah klasik tempo dulu saat benang-benang mulai terangkai dan benih-benih mulai disemai.
Begitu temaramnya waktu, lalu berubah secercah harapan demi harapan menjelma menjadi sebuah kenyataan. Aku bersandar di ujung kemenangan sejati.
Lalu aku dan sahabatku melangkah, menyusuri sudut-sudut siang dan menjemput karya-karya manusia yang lahir dari tangan-tangan seni lewat kemegahan bangunan-bangunan yang menjulangkan kemewahan sampai keremangan malam dengan sentuhan neon-neon ratusan watt mulai membuka kehidupannya. Tak ada lagi hawa panas menyengat, kini hanya hempasan angin malam yang sesekali menyapu wajah-wajah kami berdua.
Kegembiraan berpadu dalam hempasan masa dan bergulir dihari-hari, saat fajar kembali terbit dan senja mulai memagut pertanda malam akan menjelang.
Sang Durga lalu menutup diri sementara lembayung melingkarkan kilauan warna-warnanya dan kabut tipis berlari-lari di langit biru, bergumul dengan sang rembulan. Suatu pemandangan alam maha dahsyat tercipta berkat keagungan lingkaran kekuasaan-Nya.
Aku telah membawa sang pecinta kedalam sebagian hidupku dan memolesnya dengan puisi-puisi cinta seorang anak manusia yang merindukan sebuah persahabatan. Menghiasi hari-harinya dengan penuh keceriaan walaupun hanya sekedar berlari dari bayang-bayang yang selalu menghalang.
Getar-getar rasa persaudaraan adalah sabda yang tak pernah berhenti dan selalu mengiringi setiap langkah menuju sebuah tengat waktu, dimana aku dan sahabatku kelak menemukannya.
Sebuah kebersamaan yang tak termakan oleh usia dan tak habis oleh merayapnya warsa, kecuali tangan-tangan kekuasaan mencengkram dan menusuk kan jari-jari tajamnya lalu memisahkannya kepulau impian masing-masing.
Sementara itu sebagian lagi sahabatku terpisah oleh jalan hidup yang berbeda. Sebuah perjuangan di tanah rantau, demi mengais rupiah untuk dipersembah kan pada sang pemberi kasih.
Dimanapun engkau sahabatku, aku akan selalu memberikan kasih tulus dengan segenggam doa dan secarik ketulusan di dangkalnya hati, sepinya jiwa dan terus mengobatinya dengan kain-kain sutra yang kutoreh dari derasnya peluh dan onggokkan daging-daging.
Akan ku kayuh bahtera hidup dengan sisipan-sisipan petuah dan sokonganmu di masa lalu, sekarang dan beberapa abad kedepan. Aku kendalikan dunia dengan tangan-tanganku lalu ku persembahkan pada sang perupa. Inilah aku sahabat sejatimu.
Kemudian akan ku kabarkan pada dunia, akulah penikmat dunia yang telah menemukkan cinta sejati seorang sahabat.

***

Segores Kenangan

Setahun lalu di sebuah kota kecil di Jawa Tengah telah lahir sebuah dongeng anak manusia yang bergelut dengan catatan-catatan. Bercumbu dengan alam pengetahuan dibalik bertumpuknya tugas-tugas yang diemban, dengan dorongan dari sang pelahir.
Namun, kekuatan dongeng yang telah basi ditelan waktu masih membekas dan menjadi sebuah kenangan dikala angan melayang menerobos potret-potret rupa. Sebuah lintasan gambar nyata di dasar sanubari terekam laksana alam yang menghadirkan keelokannya. Menyajikan butiran-butiran permata di padang hijau membentang.
Gundukan peristiwa mematut diri telah menghadirkan kisah-kisah mesra sepasang mata-mata yang mengintai, mencuri dibalik keluhuran budi. Itulah kenangan manis kala kaki menghentak di tanah subur Purwokerto.
Akhir lagu sebuah kenangan selama 3,5 tahun menimba ilmu di bangku kuliah. Anak yang kelaparan belaian-belaian sang penyejuk, pencercah jiwa di kegersangan padang tandus yang terus mengobati dengan guyuran-guyuran air, merangkul masa depan dipenghujung jalan dan menariknya sampai dipelukkan sang penyanjung.
Akulah sang makhluk yang selalu kehausan dengan bimbingan-bimbingan sang pengasih.
Akulah sang mahluk yang selalu kelaparan dengan pemberian-pemberian sang penolong.
Akulah manusia yang selalu mendambakan kebahagiaan dari sang pemberi rahmat.
Akulah manusia yang selalu memimpikan nyanyian-nyanyian cinta dari sang penyayang.
Akulah manusia yang selalu merekam kenangan-kenangan suram dalam ingatan dan selalu terpatri ketika hari esok menyapa dan lusa menjelang. Seperti hutan belukar yang selalu menampakkan sang penguasa buas yang siap mencengkram dengan gigi-gigi taringnya atau hanya sekedar menakut-nakuti dengan kumis panjangnya.
Aku seolah tergopoh pada sehelai ilalang yang tak sanggup menahan, seuntai akar yang hanya bisa menyambung detak nadi. Sementara ragaku tersangkut di bibir jurang menganga yang siap menyantap dan menyeretnya ke dasar kegelapan, di kedalaman lembah tak bertuan.
Ketika harapan tak lagi berpihak, datanglah sapaan-sapaan kedamaian lewat selembar senyuman di sela jari-jari lentiknya menggabungkan kata-kata menjadi serangkaian kalimat bermakna. Suatu ungkapan keakraban terselip dibalik keramahan sang pengelana.
Cerita-cerita manis di sebuah rental computer awal Februari 2003 adalah saksi bisu sebuah kekuatan cinta seorang anak manusia yang selalu memeluknya dengan kehangatan-kehangatan tutur katanya. Di balik ketulusannya, laksana sang mentari yang selalu menerangi saat fajar di ufuk timur lahir dan seperti rembulan yang selalu memancarkan cahyanya dikala kegelapan mulai menjamah bumi.
Sang pelantun tembang-tembang mulai membisikan aroma-aroma kenikmatan lewat sepenggal kisah-kisah hidup yang penuh dengan kelucuan sampai mimikku yang ketat kini lentur oleh tembang-tembangnya. Ada rasa kedamaian, ketenangan.
Suatu maha karya yang telah menjebol benteng-benteng keangkuhanku, keseriusanku dan membawanya ke alam yang sebelumnya tak pernah kaki menginjak, hanya sebuah bayangan yang selalu dikejar, lalu mengilang.
Genggaman ketulusannya telah meleburkan sifat keegoisanku bak gunung yang menjulang, bagai batu karang di dasar lautan yang tak tersentuh.
Seperti guratan nasib Tuhan yang telah menghadirkan sang pelantun di kehampaan jiwa yang merana.
Adalah tangan-tangan Tuhan yang telah menjelmakan sang dewa di saat kesepian mulai memagut.
Ada lantunan rasa melayang-layang membawanya dan mengukir kenangan di singgasana kerajaan maya. Suatu istana megah di puncak angan-angan - sebuah kebebasan.
Sebuah lukisan berkarya yang hidup lewat goresan-goresan pena sang perupa.
Merekalah sang penolong yang telah membuka -kan terali belenggu kehidupanku dari lilitan-lilitan keterpasungan - suatu penjara keabadian yang ku buat sendiri.
Merekalah sang pengagum kedamaian.

***

Kenangan manis selalu tergores dikala waktu luang menghadap. Saat-saat ketika kaki-kaki mulai melangkah dan menghantarkannya ke gerbangku, sebuah rumah kontrakan di jalan Rajawali - penuh kepalsuan.
Begitupun ketika kedua kakiku menapakkannya di depan mereka. Ada sejumput kebahagiaan terpatri di wajah-wajah mereka. Gelak tawa selalu hadir ditengah-tengah tatapan-tatapan aneh.
Suatu keajaiban Tuhan yang telah mengulurkan titah-titah sucinya diantara kebimbangan-kebimbangan akan arti hidup, sebuah keputusasaan seorang anak manusia.
Menyatukan perbedaan dan mematrinya dalam belahan jiwa. Mereka adalah saudaraku yang hadir dalam waktu dan ruang yang tak terbatas.
Mereka adalah sang perupa yang mematut diriku lewat polesan-polesan warna kehidupan.
Mereka adalah sang pecinta sejati yang telah mengajari sebuah ketulusan.
Merekalah yang telah memelukku dengan dongeng-dongeng si fulan, cumbuan-cumbuan malam dan belaian-belaian sang penyayang.
Merekalah yang telah membukakan mataku dari lelapnya tidur dan mengantarkannya pada jendela dunia di balik suguhan-suguhan kenikmatan semu.
Merekalah yang telah meniupkan senandung lagu cinta hingga telingaku mampu mendengar bait-demi bait sebuah arti keindahan.
Merekalah yang telah menaburi luka-luka menganga dengan sentuhan-sentuhan keikhlasan.
Namun rupanya syetan-syetan tak pernah mau bersahabat, dengan kasarnya telah merenggut kesenangan dan mencampakkannya dalam ruang tak berbatas.
Segulung ombak telah memusnahkan rumah yang baru di bangun dan harus memulainya kembali dari batu yang disusun kemudian menempeli dengan bata-bata hingga tempat perlindungan pun kembali berdiri.
Hanya puing-puingnya yang tersisa dan terus ku genggam erat sampai tangan tak mampu menulis dan badan tak mampu bergerak. Hanya ocehan rasa yang bergema memenuhi ruang-ruang waktu.
Inilah saat memilukan akhir dari sebuah persinggahan. Suatu masa tak bertepi, suatu zaman tak berakhir saat-saat dimana tatapan-tatapan sang pencuri hati perlahan pudar diterpa angin yang terus berhembus seiring detak jantung.
Ketakutan akan sebuah kalimat lengkaplah sudah menambah rangkaian cerita-cerita suram yang tertelan di penghujung kisah.
Sebuah kata perpisahan yang selalu menusuk dan membelenggu kedamaian jiwa, memporak-porandakan kebahagian yang baru terajut.
Tuhan, begitu cepat pertemuan itu dan harus berakhir dengan sebuah kekecewaan.
Kenapa kau hadirkan mereka di dalam hidupku, sementara jurang-jurang kau buat untuk memisahkan kami ?
Dan haruskah aku menyulam hari-hariku dikesendirian tanpa kehadiran mereka disisiku.
Haruskah sebagian hidupku dalam sebuah pencarian yang tak pasti ?
Hanya seutas kenangan selama tiga bulan yang masih membekas.
Kapankah sang pecinta hadir dengan kidung-kidungnya?

***

Di Taman Surga
Di taman hatiku bunga-bunga mulai bermekaran menyibakan aroma khasnya memenuhi kelambu-kelambu putih tergerai di atas sebuah pembaringan. Daun-daun hijau ranau menempel pada ranting-ranting kecil menjulang. Di balik pelupuk jendela kecil fajar menyeringai dengan kehangatan sinarnya. Sepasang merpati putih terlihat bertengger di dahan akasia. Tubuhnya berdekatan, sayap-sayapnya sesekali digibaskan lalu berpelukkan di antara sendi-sendinya.
Wajah alam ketika itu mulai bersahabat, tidak lagi menunjukkan kekejamannya. Apakah itu pertanda baik menyambut kedatangan sang pecinta. Ataukah hanya sebuah ilusi di keremangan malam sebuah mimpi-mimpi.
Fijar keceriaan menghamparkan jubah kekuasaannya, meletakkannya di atas pohon-pohon kehidupan lalu menghembuskannya di singgasana pengantin.
Gemercik air terjun di balik bukit berdendang dengan tari-tarian sang pecipta di sela-sela bebatuan licin tertata alam laksana sepasang anak manusia menyanyikan lagu kebahagiaan.
Kemudian timbullah riak-riak di tengah samudra dengan bulir-bulir gulungannya.
Alam semesta mulai membelaiku dengan hempasan angin di puncak gunung sampai rambutku tergerai. Lalu kuncup-kuncup bunga kembali merekah mengundang sang kumbang mendekat untuk menghirup sari madunya.
Kekasihku, kemarilah. Ulurkan tanganmu, genggam jemariku lalu dekatkan di kedalaman hatimu. Hamparan samudra biru tak mampu mengobati kehausanku. Sengatan mentari sudah tak mampu lagi menyalakan lentera-lentera kecil di taman hatiku. Aku berada di tengah gurun tandus yang tak ada celah untuk berteduh dari sengatan mentari. Tanaman-tanaman kecil mati dan pohon-pohon binasa. Musim kering telah melanda dan mengancamku.
Hanya engkaulah sang dewi kayangan yang mampu meniupkan roh-roh di singgasana
kerajaanku yang telah aku bangun dari gundukkan ayat-ayat sang pecipta, dari cucuran keringat dan dari gelayutan puisi-puisi malam.
Kekasihku, mendekatlah !. Mari kita duduk di balai-balai kecil di taman hatiku sambil menikmati buah dari kelentikan sang pelukis yang telah menuangkan imajinasinya dengan pulasan-pulasan warna-warna kasih sayang.
Kekasihku, marilah kita menyulam benang-benang hari dan menjadikannya sebuah kain yang akan membungkus kehangatan kita, menyatukan dua insan dalam hempasan gelora.
Kekasihku, berilah setengguk anggur pelepas dahaga yang sanggup mengobati kehausan jiwaku
sampai berabad-abad lamanya.
Hanya dengan tatapan matamu, wahai kekasihku, mampu menghidupkan lentera-lentera kecil di jiwaku. Kemudian akan menerangi jalan-jalan terjal di lorong kesunyian.
Dengan sebuah senyumanmulah kematianku akan berakhir dan kehidupan keabadian akan
menjelang. Aku terbangkit dari kubur alam lalu melayang laksana kapas-kapas tertiup angin menjemput kekasih hatiku di taman surga.
Kekasihku, marilah kita kelilingi dunia, memasuki kebun-kebun, hutan-hutan dan bentangan lautan, lalu singgah sebentar di pematang sawah karena musim panen segera tiba dan sang waktu telah mengeram butir-butir padi.
Mari kita petik butir-butir padi, seperti jiwa-jiwa yang mulai bermekaran dari benih-benih cinta yang telah di tanam di jiwa kita. Penuhilah gudang-gudang dengan buah-buahan, laksana kehidupan yang telah memanjakkan kita. Mari kita lukis ranjang-ranjang kita dengan wewangian dan atapnya dari gaun-gaun, lalu kita rebahkan kepala kita di atas bantal-bantal yang terbuat dari helai-helai wol yang di datangkan dari Persia.
Sejenak kita regangkan otot setelah kita menjemput jarak dengan tatapan-tatapan ketakjubkan,
seperti Tuhan yang telah menghadirkan sang pecinta di gerbang kebahagiaan.
Kekasihku, mari kita tuai lagi anggur-anggur di kebun dan menyimpannya ke dalam guci-guci lalu menutupnya rapat-rapat, seperti hati kita yang telah terisi oleh percikan-percikan cinta yang di datangkan dari taman surga, jangan sampai tutup tutup itu ada celah yang tersisa dan isinya berhamburan.
Simpanlah guci itu dan jadikan sebagai teman di saat kesendirian hadir, jadikan sebagai dewa di kala kesusahan menjemput. Peluklah wahai bidadariku dan jangan tangan-tangan mungilmu lemas, karena badai akan mempeorak-porandakan guci dan merebut segala isi di dalamnya.
Maukah kita menyusunnya kembali dari sisa-sisa tenaga yang telah terkuras, atau kita akan terus memulasaranya seperti kita yang memelihara roh-roh kita, jiwa-jiwa kita dan hati kita.

***

Bidadariku, ciumlah aku karena malam mulai menjemput, lalu nyalakan pelita-pelita agar istana tidak lagi temaram. Pandanglah mataku sebelum kau tidur, di balik tatapanku itulah akan tersirat gambaran seorang pencari cinta. Senyumlah, sebelum mata lelah mu menariknya dan kemudian menutup di atas pembaringan.
Wahai kekasihku, engkaulah keabadian yang telah menjelma di sanubariku dan telah menggetarkan tembok-tembok keangkuhan akan sebuah cinta. Lalu membangunnya kembali dengan cahaya-cahaya yang terpancar dari wangi tubuhmu. Dari hentakan desah napasmu ketika tatapan demi tatapan bertemu, sebagaimana lilin yang telah dinyalakan sang pecipta.
Marilah kita kayuh hari-hari dengan pesona-pesona keelokanmu, lalu menyegarkan setangkai
bunga yang layu, membasuh setiap jengkal kegersangan sampai tanah subur kembali bisa di tanami dengan benih-benih ketulusan.
Kehadiranmu dalam alam khayalku akan menjelmakan di alam nyataku, sehingga mampu membawa diriku jatuh ke dalam pelukan sebuah kemegahan sampai akhirnya sang malaikat tak mampu mengusik ketenangan kita di taman keabadian - taman surga.
Kekasih hatiku, kita bangun sebuah istana kecil di lubuk hati dengan pernak-pernik di sudut-sudut dinding dan aku sebagai rajanya sementara engkau disampingku menjadi permasuri yang diapit dayang-dayang.
Kemudian, kursi yang diikat dengan tali-tali kasih kita duduki bersama sampai puisi-puisi dari bibir pesinden meluncur, membawa kita ke alam kesejukan, sebagaimana jiwa yang telah kau siram.

Kita rengkuh dunia, hingga tak seorangpun berkutik. Kita genggam dunia dan kita wartakan
bahwa kitalah sang penguasa yang sedang di landa asmara.
Bidadariku mendekatlah, Kunci lah jendela dan pintu-pintu karena sang pengusik segera datang
dan akan membentangkan amarahnya. Mereka iri dengan kebahagiaan yang kita raih, mereka benci dengan kesenangan yang kita peroleh.
Kekasihku, belahan jiwaku janganlah kau lepaskan genggamannya. Ikatlah terus sampai aku kembali menjemputmu dan akan membawamu kembali ke kerajaan hatiku untuk menikmati kembali nyanyian-nyanyian sang pujangga dan bunga-bunga melati yang mekar di taman.
Janganlah kau pergi kekasihku, waktu belum menutup diri, bersenang-senanglah denganku aku ingin hidup bersamamu seribu tahun lagi.
Namun sang fajar telah datang, mengusik ketenangan.
Temuilah aku di taman impian, taman surga yang memberikan kedamaian.

***


Kota Metropolitan

Suara alunan musik kecrek terdengar di lajunya sebuah bus padat penumpang di jalanan tak lengang. Kemudian nyanyian-nyanyian menyayat meluncur dari mulut kering bocah kecil berpakaian kucel beselendangkan seutas tali di kantong kresek hitamnya.
Pemandangan itu kian lengkap ketika di kolong-kolong jembatan ibu tua menggendong bayinya yang baru berusia lima bulanan. Bayi mungil berselimutkan sehelai kain lusuh itu terus menangis meminta segelas susu. Namun, ibu tua itu hanya bisa menghela nafas dari tenggorokannya yang gersang dan hanya bisa meneteskan air mata yang telah kering.
“Nak, tenanglah. Jangan kau kabarkan tangisan-mu itu ke langit-langit atau tingginya tembok-
tembok, karena hanya akan memotong sisa hidupmu saja. Ibu hanya bisa memberikan sebuah harapan sehari saja, selanjutnya kamulah yang akan menyambungnya atau kau akan mati terkapar di telan arus bah di hilir sana kemudian akan menyeretmu selama-lamanya”.
Suara wanita tua hitam dengan rambut gimbalnya itu terdengar syahdu menyanyikan lagu-lagu yang mengusik rasa iba. Sebuah syair yang ditemukan dari kerasnya kehidupan, dari tangan-tangan yang selalu terbuka di pinggir-pinggir jalan, dari kaki-kaki yang tak beralas.
Sementara itu di sudut sebuah jalan berdiri bapak tua dengan tongkat di pegangnya.
Janggutnya putih menghiasi kulit rentanya. Pak tua itu lalu menampahkan tangannya dengan sejuta harapan-recehan yang menyangkut di telapak tangannya yang kotor - untuk mengambung hidup hari ini.
Pak tua itu berdiri mematung sejak fajar terbit, lalu mentari menyalakan api panasnya sampai malam membentangkan gelapnya. Terkadang hujan adalah minuman kenikmatan yang sesekali diteguknnya, sengatan mentari menjadikannya sebagai selimut dan dinginnya malam menjadi bantal-bantalnya.
Selama bertahun-tahun ia mengabdikan dirinya pada lalu lalangnya jalanan, hilir mudiknya manusia dan sapaan-sapaan sang dermawan. Hari-harinya menuai harapan yang tak pasti.
Pak Tua itu hidup sebatang kara. Rumahnya adalah emperan-emperan toko, atau ketika rumahnya sesak oleh saudara-saudaranya, sesekali ia singgah di bawah jembatan. Plesirannya adalah menyusuri jalan-jalan yang selalu di ulang sampai beberapa kali, tak kenal lelah.
Sebuah sosok pejuang kehidupan yang demi sebungkus nasi rela berhujan-hujanan, demi
seteguk air rela berpanas-panasan. Lalu inikah takdir Tuhan yang telah mengantarkannya, atau hanya karena ulah tangan-tangan jahil ?

***

Sambil mengamati kota dari kejauhan, berdiri tegak gedung-gedung pencakar langit dan rumah mewah, menunjukkan keperkasaannya. Segelintir orang bermandikan gemerlapnya kemewahan dengan menikmati sajian-sajian surgawi di atas jutaan orang yang terkapar.
Menari-nari di diskotik atau menghabiskan uangnya di café-cafe yang sekali santap saja puluhan atau bahkan ratusan ribu ke luar dari balik sakunya. Demi perutkah atau demi sebuah harga diri yang selalu mereka bangga-banggakan.
Potret suram sebuah kota di pusat peradaban modern yang bergelimangan dengan tangan-tangan serakah, tangan-tangan yang siap menjegal dan melibas di kala kelengahan menyapa.
Sebuah kota yang tidak kenal rasa kemanusiaan, dipenuhi dengan kemaksiatan, keserakahan dan kemungkaran.
Sebuah kota yang selalu menepis ajaran-ajaran Tuhan tentang sebuah cinta dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran materialistis tentang sebuah kekejaman.
Aku terhenyak pilu dengan sorotan mata menyusuri setiap ruang di kota padat penduduk ini, sambil sesekali batinku menangis menyaksikan manusia-manusia yang memakan saudaranya sendiri dengan kekekaran ototnya, lalu mencampakkannya seperti bangkai tak berguna.
Mayat-mayat bergelimpangan di pinggir-pinggir jalan, menanti sang pengasih menguburkannya. Sementara itu tulang belulang berserakan di kolong-kolong jembatan menanti sang penolong membenamkan-nya.
Lalu kenapa aku terus berjalan di hiruk pikuknya orang-orang dan kenapa pula orang terus mengikuti setiap jengkal tapak kakiku ?
Sebuah ambisikah atau hanya sekedar mengikuti arus. Hanya jalan hiduplah yang akan menjawabnya.

***